Rabu, 01 Oktober 2025

Seorang Sahabat yang Pergi Terlalu Cepat

Catatan yang belum selesai, dari 9 Maret 2021 

Yang aku ingat dari kamu, adalah kamu punya gigi yang salah tumbuh. Satu gigi "ekstra" tepat di belakang gigi seri atas.
Yang aku ingat dari kamu, adalah bahumu yang lebar, meski perutmu sudah pernah kulihat rata dan buncit bergantian.

Aku ingat matamu yang besar dan bulat, dan tatapan yang meninggalkan kesan. Pipi dengan bekas jerawat, poni yang menjuntai ke satu sisi, aku lupa kanan atau kiri.
Aku ingat jemarimu yang panjang, yang sering menempel di tuts Macbook seken yang layarnya sudah agak kekuningan.

Sebelum membeli Macbook ini, kamu begitu tergila-gila pada label apel ini, merasa harus punya supaya bisa memenuhi hasrat desainmu.

Ingatan tentangmu selalu konyol, dan membuatku tersenyum. Bukan cuma aku, tapi mereka yang kenal kamu, pasti begitu.
Meski menyebalkan sekaligus membuat heran, kami selalu bisa menerimamu dengan segala keanehan dan kelakuan tidak masuk akalmu.

Seharusnya itu karena kamu begitu jelas dengan apa yang kamu mau, kamu begitu kuat memegang impianmu, mempertaruhkan segalanya untuk menghidupkannya, sungguh-sungguh menyerahkan hidupmu untuknya.

Apakah kamu sudah buat terlalu jauh? Apakah kamu bahkan menukar umurmu untuk itu? Berita kepergianmu tidak mengagetkan, apalagi kamu sudah berjuang melawan sakit begitu panjang. Tapi tetap saja, berita ini rasanya terlalu cepat datang.

Selamat jalan, karya besarmu sudah kamu wariskan. Kelak, entah apakah penikmat karyamu masih akan mengingat dirimu. Tapi dalam ingatanku, bintangmu tetap terang bersinar.

Pemimpin

Dulu sekali, pernah baca satu artikel yang judulnya Pemimpi(n). Sudah lupa isinya, dan bukan itu juga yang ingin aku ceritakan di sini.

Tulisan ini benar-benar tentang "pemimpin" di dalam kepala kecilku.

Suatu kali, seorang teman sedang getol membahas tentang pemimpin atau kepemimpinan. Mungkin ia merasa jiwanya dalam hal itu sedang berkembang pesat. Aku tak tau, karena aku tak pernah dipimpin olehnya.

Tapi aku jadi terpancing ingin ikut berbagi pendapatku tentang pemimpin.

Pemimpin sesungguhnya bukan sesuatu yang bisa ditirukan, bukan pula sesuatu yang bisa diciptakan, apalagi dicitrakan. Anda bisa belajar tentang kepemimpinan, tapi itu tidak menjamin, Anda akan bisa menjadi pemimpin.

Pemimpin atau kepemimpinan, ada di dalam jiwa kita. Barangkali, itu adalah panggilan jiwa. Atau... itu baru bisa bangkit, kalau kita berani menjawab panggilan nurani kita. Meski bayarannya adalah diri dan hidup kita.

Alkisah seorang pelayan yang baik, memiliki seorang pemimpin yang kurang baik. Sebagai pelayan yang baik, ia menjalankan perintah pemimpinnya dengan sebaik-baiknya. Sehingga ia pun dinobatkan menjadi pelayan terbaik. Setelah itu, diangkatlah ia menjadi pemimpin bagi pelayan-pelayan lainnya. Dan akhirnya pelayan tadi mulai menganggap dirinya kini adalah seorang pemimpin. Namun, sesungguhnya ia tetaplah seorang pelayan. Ialah pelayan yang membawa pelayan-pelayan lain, mengabdi pada kepentingan di atasnya, bukan panggilan jiwanya. Pelayan tadi baru benar-benar menjadi pemimpin di saat ia sungguh-sungguh mendengar suara hatinya yang bisa jadi berlawanan dengan instruksi atasannya.

Pemimpin sejati, mendengar hatinya, menetapkan arah langkahnya, meski semua orang di sekitar berjalan ke arah sebaliknya, meski semua orang di sekitar mempertanyakan keputusannya.

Pemimpin sejati, ia mengambil resiko, ia akan dan pasti lelah, barangkali pun ia menjadi sendirian. Tapi beginilah konsekuensi untuk menjadi seorang pemimpin yang sesungguhnya.

Sabtu, 27 Agustus 2016

Hidup Kita

Mungkin seperti sejumlah orang lain, aku pun sering berpikir tentang mengapa kita hidup, dan untuk apa aku hidup. Jawaban yang kudapat dari hasil pikiranku sendiri seringkali berubah-ubah. Sekarang ini, aku sampai di titik bahwa tak perlu meributkan alasan dari hidup itu. Hidup, pada kenyataannya sudah jadi milik kita, bagaimana masalah kita sekarang adalah: bagaimana mau memanfaatkannya?

Alasan tentang munculnya kehidupan, seolah membahas sesuatu "sebab" yang ada di luar diri kita, dan karenanya di luar kendali/kuasa kita. Sementara bagaimana menciptakan sebuah kehidupan, sudah jelas dan tentu ada di tangan kita.

Kamis, 02 Agustus 2012

Kita


Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga tak hanya Kita demi Kita,
Tapi juga Kita demi Mereka.

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga semuanya ikut berbahagia,
Sebagaimana kita akan mengusahakannya.

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga adalah jalinan karma,
Untuk terus saling topang dalam Dharma.

 *kata-kata ini sempat berputar di kepalaku suatu waktu, saat kita berboncengan menuju sesuatu. Belum utuh, sebagaimana kita saat itu. Dan ketika saatnya tiba, aku senang bisa melengkapinya.