Sabtu, 27 Agustus 2016

Hidup Kita

Mungkin seperti sejumlah orang lain, aku pun sering berpikir tentang mengapa kita hidup, dan untuk apa aku hidup. Jawaban yang kudapat dari hasil pikiranku sendiri seringkali berubah-ubah. Sekarang ini, aku sampai di titik bahwa tak perlu meributkan alasan dari hidup itu. Hidup, pada kenyataannya sudah jadi milik kita, bagaimana masalah kita sekarang adalah: bagaimana mau memanfaatkannya?

Alasan tentang munculnya kehidupan, seolah membahas sesuatu "sebab" yang ada di luar diri kita, dan karenanya di luar kendali/kuasa kita. Sementara bagaimana menciptakan sebuah kehidupan, sudah jelas dan tentu ada di tangan kita.

Kamis, 02 Agustus 2012

Kita


Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga tak hanya Kita demi Kita,
Tapi juga Kita demi Mereka.

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga semuanya ikut berbahagia,
Sebagaimana kita akan mengusahakannya.

Bila saatnya tiba,
Aku dan Kamu menjadi Kita,
Semoga adalah jalinan karma,
Untuk terus saling topang dalam Dharma.

 *kata-kata ini sempat berputar di kepalaku suatu waktu, saat kita berboncengan menuju sesuatu. Belum utuh, sebagaimana kita saat itu. Dan ketika saatnya tiba, aku senang bisa melengkapinya.

Selasa, 22 Juni 2010

Saat-saat Hijau Kita

Saat lagu-lagu D’Cinnamon terdengar dari earphone...

Entah kenapa... ada rasa rindu yang merayapi hati.

Tentang hari-hari kita dulu.
Tentang masa ketika kita sama-sama begitu hijau dan polos menantang dunia.
Kisah perjuangan ini, adalah jalan yang sepi.
Namun hati kita terikat begitu erat satu dan yang lainnya.
Mungkin ikatan ini bahkan sudah ada sebelum kita tercipta.

Entah kenapa... rasanya ingin mengalirkan air mata.

Tapi untuk alasan apa?
Tampaknya karena rasa haru mengenang semuanya.
Tampaknya karena rasa syukur pernah mengalami ini bersama.
Tampaknya karena benar-benar rindu mengulang usia.
Tapi pasti bukan karena sesal di dada.

Entah kenapa... benar-benar ingin berkumpul kembali.

Meski dengan kondisi dan masalah yang berbeda.
Yang penting menjadi tak penting lagi.
Dan yang dulu jauh dari penting kini menjadi yang terpenting.
Inilah akibat dari berlalunya waktu, yang telah mengubah kita.

Teruslah bersama, kali ini sebagai manusia-manusia dewasa.


Selasa, 17 Juni 2008

Teman, ke mana jalanmu?

Malam itu, kami baru menyelesaikan rapat untuk menerbitkan majalah perkumpulan kami. Berlima, kami semua lelah. Pagi sampai siang, semua punya urusan kantor masing-masing. Perkumpulan cuma sampingan, sampingan yang serius dan memeras otak. Kita semua masih muda. Okelah, yang paling sepuh paling-paling juga awal 30 tahun. Soal semangat, jangan ditanya, apalagi idealisme. Mungkin kita gak bisa hidup tanpa itu, catat: untuk saat ini. Jam demi jam sering aku ikuti dengan mereka bicara soal bangsa, soal cita-cita, soal mimpi yang pelan mulai kami lihat wujudnya. Soal grassroot yang semakin menyerabut, tak kuat mencengkeram dasar pendirian kaum muda.

Tiba waktu untuk pulang. Empat dari kami keluar dari pintu. Satu lainnya adalah si pemilik rumah, calon ibu yang semua anggota badannya bengkak seukuran 2 kali lipat semula. Tinggal menunggu vonis tanggal melahirkan. Empat lainnya adalah aku, Jay, Iwan, dan Ing. Aku dan Ing sudah lama menjalin kedekatan. Kami berdua pulang dengan motor hitam Ing. Aku membonceng tentu saja. Lalu, Jay dan Iwan? "Aku pulang naik busway," kata Iwan. "Aku juga, kita bareng aja," ini Jay yang bicara. Tanpa melambaikan tangan, mereka langsung jalan. Mungkin takut kehabisan, pikirku.

Aku dan Ing keluar di Jalan Gajahmada, kami harus berputar untuk menuju Harmoni. Di perempatan Plaza Gajahmada, aku lihat Jay dan Iwan menyeberang jalan. Mereka tidak melihat kami. Ing juga tidak melihat mereka. Aku, merekam gambar 2 sosok itu dalam benak, dan pikiranku mulai melayang dalam kepedihan dalam diam.

Jay dan Iwan, adalah pimpinan dalam perkumpulan kami. Secara struktur mereka sudah selesai menjabat, tapi dalam hati dan hidup kami mereka masih seorang pemimpin. Jay punya perhatian dan kesabaran luas untuk mengayomi semua anggotanya. Dia bahkan tau sampai urusan pribadi dan kerisauan yang dirasakan per orang. Dan dia menjadikan kerisauan itu, miliknya juga. Iwan, aku cuma bisa bilang cemerlang. Belum sampai setahun lalu, sewaktu Iwan menyampaikan sambutan, berkali-kali ia dipuji oleh seorang menteri yang hadir dalam acara kami itu. Kata-katanya terus dikutip oleh sang menteri.

Bolehkah kusebut dua orang ini adalah luar biasa? Tapi saat ini, apa yang mereka punya? Untuk pulang dari rapat saja mereka tidak memegang kuasa. Begitu sederhana, dan merakyat. Jay dan Iwan bukan dari keluarga yang serba kurang. Kalau mau, usaha keluarga siap diserahkan pada mereka. Bukan tidak bisa, tapi ini soal memilih jalan hidup. Mereka tak menuntut kemudahan juga kemewahan. Mereka hanya ingin keadaan berjalan lebih baik dan lebih benar.

Belum lama ini aku bertemu seorang pemuda yang juga seorang organisatoris. Dengan bangga dia bilang baru saja makan malam dengan seorang gubernur. Kubilang, bagus. Tekuni saja, siapa tau bisa menjadi celah untuk perubahan positif dalam rakyat. Tapi, dia menolak. "Aku ga tertarik masuk politik." Hmm....lanjut kubertanya, "Jadi kedekatan dengan pejabat ini untuk apa? Apa untuk bisnis?" "Nah, itu kamu tahu!" Pemuda ini sudah berkecimpung di usaha percetakan. Dia jelas tak pusing untuk pulang ke Bekasi, sebab dia menyetir sebuah mobil, yang aku ditawari untuk menumpang malam itu.

Jay dan Iwan, berharga seribu kali lipat dari pemuda ini, di mataku, di seluruh diriku. Aku tak menyalahkan pemuda itu, semua orang punya pilihan. Begitu juga aku kan? Bagiku, kalau kita punya kesempatan untuk berkiprah demi kebaikan, meski itu berarti pengorbanan, itu artinya cukup alasan. Itu artinya layak dilakukan.