Jumat, 23 Mei 2008

"Sori, aku harus pergi"

Belakangan ini di kantor sedang banyak orang yang memilih ‘pergi’. Maksudnya mengundurkan diri. Banyak alasan yang jadi penyebabnya, tapi kebanyakan karena mereka ingin bekerja di tempat lain. Di antara mereka ada J yang akan kerja di satu perusahaan kosmetik, trus ada R yang bakal jadi assprod di program TV nasional, juga T yang katanya pengen buka usaha sendiri. Tanggal 30 bulan ini, bakal jadi last day mereka ceklok absen di kantor ini.

Sementara sekarang, 8 hari sebelum itu, kira-kira apa ya yang mereka rasakan dan pikirkan? Misalnya aku, pasti udah sulit buat konsen, pikiran bercabang antara selesaikan tugas-tugas di sini dan menyusun rencana-rencana di kantor baru. Harapan pasti banyak, semoga di sana suasana lebih nyaman, teman-temannya lebih asyik, kerjaannya lebih oke, dst. Trus klo kerjaan di sini sudah dipindah tangan semua, masa menunggu hari-hari terakhir pasti membosankan sekali. Tetap harus setor muka di kantor sampai akhir bulan, padahal sudah tidak ada yang harus dikerja’in. Belum lagi bagaimana harus interaksi dengan teman-teman kantor lama padahal tau sebentar lagi akan ninggal’in mereka ‘membusuk’ di tempat sekarang sewaktu kita sendiri melenggang pergi.

Kayaknya sulit aku memahami soalnya kantor ini tempat pertama aku kerja. Tapi pengalaman ditinggalkan teman-teman yang pindah kerja pasti bukan pertama. Awalnya, aku sering sampe ingin menangis, membayangkan gak bisa ketemu setiap hari lagi, tidak mungkin lagi melewatkan Terjebak sendiri dalam suasana sentimentil perpisahan seperti untuk selamanya. Tapi sekarang, setelah tiga, lima, dan lebih banyak lagi perpisahan yang terjadi, rasa itu nggak ada lagi. Sepi karena ditinggal, iya. Tapi sedih, hmm... kenapa harus? Jalan tiap-tiap orang kan ga selalu beriringan.

Sabtu, 03 Mei 2008

Sumur Inspirasi

Lebih dari segalanya, mama adalah sumur inspirasiku.
Belum lama ini, mama pindah dari Semarang ke Jakarta. Sampai sekarang kita belum memutuskan apa kepindahan ini untuk sementara atau seterusnya. Kalau ini berlangsung untuk jangka panjang, ada kemungkinan papa akan menyusul juga. Dan itu berarti kita harus mulai mencari tempat tinggal di kota yang tidak aku suka ini.

Kalau kuhitung, sudah hampir sebulan mama di sini. Sejak dulu mama mengalami banyak cobaan dalam hidupnya. Mulai dari diskriminasi etnis di Aceh waktu peralihan jaman Soekarno ke Suharto, lalu kehidupan rumah tangga yang penuh lika-liku, pindah kota berkali-kali karena alasan ekonomi, juga kerja keras membesarkan ketiga anaknya.

Yang membuatku salut, mama tetap bisa mempertahankan prinsip etika juga kebaikan hati dalam semua kondisi. Biarpun seringkali kesulitan materi membuat orang tak mudah mengekspresikan kepedulian dan bantuan pada orang lain, mama masih tetap bisa melakukannya. Dia bisa begitu jelas membedakan mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak, kapan saat untuk merelakan dan kapan harus menggenggam. Kalau diibaratkan, dia keras seperti karang, tapi juga selembut air.
Aku bangga dan kagum padanya.