Selasa, 17 Juni 2008

Teman, ke mana jalanmu?

Malam itu, kami baru menyelesaikan rapat untuk menerbitkan majalah perkumpulan kami. Berlima, kami semua lelah. Pagi sampai siang, semua punya urusan kantor masing-masing. Perkumpulan cuma sampingan, sampingan yang serius dan memeras otak. Kita semua masih muda. Okelah, yang paling sepuh paling-paling juga awal 30 tahun. Soal semangat, jangan ditanya, apalagi idealisme. Mungkin kita gak bisa hidup tanpa itu, catat: untuk saat ini. Jam demi jam sering aku ikuti dengan mereka bicara soal bangsa, soal cita-cita, soal mimpi yang pelan mulai kami lihat wujudnya. Soal grassroot yang semakin menyerabut, tak kuat mencengkeram dasar pendirian kaum muda.

Tiba waktu untuk pulang. Empat dari kami keluar dari pintu. Satu lainnya adalah si pemilik rumah, calon ibu yang semua anggota badannya bengkak seukuran 2 kali lipat semula. Tinggal menunggu vonis tanggal melahirkan. Empat lainnya adalah aku, Jay, Iwan, dan Ing. Aku dan Ing sudah lama menjalin kedekatan. Kami berdua pulang dengan motor hitam Ing. Aku membonceng tentu saja. Lalu, Jay dan Iwan? "Aku pulang naik busway," kata Iwan. "Aku juga, kita bareng aja," ini Jay yang bicara. Tanpa melambaikan tangan, mereka langsung jalan. Mungkin takut kehabisan, pikirku.

Aku dan Ing keluar di Jalan Gajahmada, kami harus berputar untuk menuju Harmoni. Di perempatan Plaza Gajahmada, aku lihat Jay dan Iwan menyeberang jalan. Mereka tidak melihat kami. Ing juga tidak melihat mereka. Aku, merekam gambar 2 sosok itu dalam benak, dan pikiranku mulai melayang dalam kepedihan dalam diam.

Jay dan Iwan, adalah pimpinan dalam perkumpulan kami. Secara struktur mereka sudah selesai menjabat, tapi dalam hati dan hidup kami mereka masih seorang pemimpin. Jay punya perhatian dan kesabaran luas untuk mengayomi semua anggotanya. Dia bahkan tau sampai urusan pribadi dan kerisauan yang dirasakan per orang. Dan dia menjadikan kerisauan itu, miliknya juga. Iwan, aku cuma bisa bilang cemerlang. Belum sampai setahun lalu, sewaktu Iwan menyampaikan sambutan, berkali-kali ia dipuji oleh seorang menteri yang hadir dalam acara kami itu. Kata-katanya terus dikutip oleh sang menteri.

Bolehkah kusebut dua orang ini adalah luar biasa? Tapi saat ini, apa yang mereka punya? Untuk pulang dari rapat saja mereka tidak memegang kuasa. Begitu sederhana, dan merakyat. Jay dan Iwan bukan dari keluarga yang serba kurang. Kalau mau, usaha keluarga siap diserahkan pada mereka. Bukan tidak bisa, tapi ini soal memilih jalan hidup. Mereka tak menuntut kemudahan juga kemewahan. Mereka hanya ingin keadaan berjalan lebih baik dan lebih benar.

Belum lama ini aku bertemu seorang pemuda yang juga seorang organisatoris. Dengan bangga dia bilang baru saja makan malam dengan seorang gubernur. Kubilang, bagus. Tekuni saja, siapa tau bisa menjadi celah untuk perubahan positif dalam rakyat. Tapi, dia menolak. "Aku ga tertarik masuk politik." Hmm....lanjut kubertanya, "Jadi kedekatan dengan pejabat ini untuk apa? Apa untuk bisnis?" "Nah, itu kamu tahu!" Pemuda ini sudah berkecimpung di usaha percetakan. Dia jelas tak pusing untuk pulang ke Bekasi, sebab dia menyetir sebuah mobil, yang aku ditawari untuk menumpang malam itu.

Jay dan Iwan, berharga seribu kali lipat dari pemuda ini, di mataku, di seluruh diriku. Aku tak menyalahkan pemuda itu, semua orang punya pilihan. Begitu juga aku kan? Bagiku, kalau kita punya kesempatan untuk berkiprah demi kebaikan, meski itu berarti pengorbanan, itu artinya cukup alasan. Itu artinya layak dilakukan.

Jumat, 23 Mei 2008

"Sori, aku harus pergi"

Belakangan ini di kantor sedang banyak orang yang memilih ‘pergi’. Maksudnya mengundurkan diri. Banyak alasan yang jadi penyebabnya, tapi kebanyakan karena mereka ingin bekerja di tempat lain. Di antara mereka ada J yang akan kerja di satu perusahaan kosmetik, trus ada R yang bakal jadi assprod di program TV nasional, juga T yang katanya pengen buka usaha sendiri. Tanggal 30 bulan ini, bakal jadi last day mereka ceklok absen di kantor ini.

Sementara sekarang, 8 hari sebelum itu, kira-kira apa ya yang mereka rasakan dan pikirkan? Misalnya aku, pasti udah sulit buat konsen, pikiran bercabang antara selesaikan tugas-tugas di sini dan menyusun rencana-rencana di kantor baru. Harapan pasti banyak, semoga di sana suasana lebih nyaman, teman-temannya lebih asyik, kerjaannya lebih oke, dst. Trus klo kerjaan di sini sudah dipindah tangan semua, masa menunggu hari-hari terakhir pasti membosankan sekali. Tetap harus setor muka di kantor sampai akhir bulan, padahal sudah tidak ada yang harus dikerja’in. Belum lagi bagaimana harus interaksi dengan teman-teman kantor lama padahal tau sebentar lagi akan ninggal’in mereka ‘membusuk’ di tempat sekarang sewaktu kita sendiri melenggang pergi.

Kayaknya sulit aku memahami soalnya kantor ini tempat pertama aku kerja. Tapi pengalaman ditinggalkan teman-teman yang pindah kerja pasti bukan pertama. Awalnya, aku sering sampe ingin menangis, membayangkan gak bisa ketemu setiap hari lagi, tidak mungkin lagi melewatkan Terjebak sendiri dalam suasana sentimentil perpisahan seperti untuk selamanya. Tapi sekarang, setelah tiga, lima, dan lebih banyak lagi perpisahan yang terjadi, rasa itu nggak ada lagi. Sepi karena ditinggal, iya. Tapi sedih, hmm... kenapa harus? Jalan tiap-tiap orang kan ga selalu beriringan.

Sabtu, 03 Mei 2008

Sumur Inspirasi

Lebih dari segalanya, mama adalah sumur inspirasiku.
Belum lama ini, mama pindah dari Semarang ke Jakarta. Sampai sekarang kita belum memutuskan apa kepindahan ini untuk sementara atau seterusnya. Kalau ini berlangsung untuk jangka panjang, ada kemungkinan papa akan menyusul juga. Dan itu berarti kita harus mulai mencari tempat tinggal di kota yang tidak aku suka ini.

Kalau kuhitung, sudah hampir sebulan mama di sini. Sejak dulu mama mengalami banyak cobaan dalam hidupnya. Mulai dari diskriminasi etnis di Aceh waktu peralihan jaman Soekarno ke Suharto, lalu kehidupan rumah tangga yang penuh lika-liku, pindah kota berkali-kali karena alasan ekonomi, juga kerja keras membesarkan ketiga anaknya.

Yang membuatku salut, mama tetap bisa mempertahankan prinsip etika juga kebaikan hati dalam semua kondisi. Biarpun seringkali kesulitan materi membuat orang tak mudah mengekspresikan kepedulian dan bantuan pada orang lain, mama masih tetap bisa melakukannya. Dia bisa begitu jelas membedakan mana yang pantas dilakukan dan mana yang tidak, kapan saat untuk merelakan dan kapan harus menggenggam. Kalau diibaratkan, dia keras seperti karang, tapi juga selembut air.
Aku bangga dan kagum padanya.

Jumat, 18 April 2008

Berikan Telingamu

"Listening is as just important as talking". Kalimat ini yang paling aku suka dari semua bacaanku hari ini. Aku jadi ingat, bertahun-tahun lalu aku pernah berdebat denganmu. Begini kira-kira dialog kita:

"Seni berbicara itu penting, karena dengan begitu kita bisa menyampaikan maksud kita tanpa bikin salah paham," kataku waktu itu.

"Tapi menurutku seni mendengar itu jauh lebih penting," bantahmu.

"Coba bayangin berapa banyak keributan yang sudah terjadi antara temen-temen selama ini gara-gara salah bicara. Itu karena mereka tidak menguasai cara berbicara dengan baik, bagaimana supaya tidak menyinggung perasaan orang lain, bagaimana mencari waktu yang tepat," aku membela diri.

"Ya, tapi jangan salah. Telinga kita ada dua, sementara mulut kita cuma satu. Kenapa begitu? Pasti ada maksudnya. Itu berarti kita harus lebih belajar tentang mendengar daripada bicara," kamu berkata.

Sampai di sini, aku kehilangan kata untuk menyanggah.

Akhirnya kita memasukkan materi "Seni Mendengar" di dalam pelatihan yang kita langsungkan untuk teman-teman, bukannya "Seni Berbicara". Dua tahun kemudian, aku mengadakan pelatihan kecil tentang "Latihan Pidato". Dan aku tahu, setahun kemudian, sebuah pelatihan tentang “Public Speaking” dibuat dan disambut antusias oleh teman-teman kita.

Sekarang, aku setuju padamu. Banyak orang yang ternyata masih harus belajar “mendengar”. Semakin tua, kita semakin tidak bisa mendengar. Telinga kita tersumbat oleh ego dan ketidakpedulian kita. Dua lubang telinga ini tinggal rongga tak berguna. Termasuk juga untuk kita. Kadang kesalahpahaman kecil berbuntut keributan besar, gara-gara kita kurang saling “mendengar”. Aku sering bilang, “Yang kita lakukan hanyalah bergantian bicara.” Bila begitu, aku pun merindukan hari-hari berdebat denganmu, karena setidaknya perdebatan itu membuktikan bahwa kita masih saling mendengar, biarpun tak harus selalu saling setuju.

Senin, 10 Maret 2008

Satu Kisah Cinta












Semua orang punya kisah cinta.
Aku juga punya, bukan satu atau dua.
Ini cuma salah satunya.
Tumbuhnya pun tanpa sengaja.
Tapi kurasa...
Sekarang sulit membayangkan masa bila dia tak ada.
Tak semua orang harus suka.
Bagiku, ini satu kisah cinta.

Angkot, Wajah Kita

Mau berdiri atau duduk, aku sangat menikmati setiap menit yang aku lewatkan di atas angkutan. Kenapa? Karena di angkot kita bisa ketemu banyak orang yang macam-macam. Jadilah, aku punya kebiasaan celingukan di atas roda-roda berputar yang mengantarku ke tempat yang aku mau.

Yang paling suka aku liat kalau ada perempuan muda pake baju modis dan dandanan cantik. Biarpun aku sendiri juga perempuan, buatku perempuan memang pemandangan yang indah. Mereka ini baru saja menjatuhkan tumit di atas angkot sudah langsung membuat semua mata menoleh. Aku sebut saja kelompok Molek.

Masih soal perempuan, ada juga yang bajunya kalem ato sporty tapi tetap indah dipandang. Mereka bukan tipe yang terlalu percaya diri menarik perhatian orang banyak, meski ketika tidak satupun kelompok molek ada di atas angkot, orang-orang pasti ganti menoleh pada mereka. Aku sebut mereka kelompok Cantik.

Trus ada mas-mas yang rata-rata pake kemeja ato kaos. Biasanya mereka nggak begitu mencolok. Aku simpulkan laki-laki yang memilih buat naik angkot itu tipe orang yang gayanya simpel dan sederhana. Pada umumnya mereka baik dan sopan. Soalnya sudah puluhan kali aku ditawari duduk oleh para laki-laki, sementara perempuan bisa sampe saling sirik gara-gara urusan meletakkan pantat. Para laki-laki ini masuk kelompok Adam.

Sisanya adalah bapak-bapak dan ibu-ibu dari yang masih keliatan sehat sampe yang tampak mengkhawatirkan. Aku sering menerka-nerka, apa gerangan yang membuat mereka harus meninggalkan rumah, dan naik angkot yang seringkali nggak ramah ini? Mereka kusebut kelompok Di Atas Umur.

Kadang-kadang ada juga yang penampilan ataupun gayanya nggak cocok buat naik angkot. Misalnya yang pake baju kelewat seksi trus jadi risi sendiri waktu angkotnya penuh, ato yang maunya dapat posisi enak/bersandar/ngerokok di tengah. Aku sebut mereka kelompok Salah Tempat.

Asyik betul mengamati mereka semua. Urusan rambut, tas, baju, juga sepatu bikin aku nggak pernah bosan. Tapi itu dengan catatan aku sendiri nggak lagi buru-buru haha.... Mungkin mereka juga sama, mengamati aku dan orang-orang lainnya.

Tapi pastinya, harus hati-hati sama semua orang. Tadi pagi misalnya, waktu aku berusaha menyelipkan tubuh di antara 2 penumpang menuju pintu belakang bis, secara kebetulan aku liat tangan di dekat ritsleting tasku. Si pemilik tangan rupanya sadar perbuatannya ketauan. Aku liat mas yang berkaos putih itu, menarik tasku, lalu turun. Mas kaos putih itu nggak ikut turun, padahal dia sempat belagak menuju pintu juga. Maap ya mas, belom rejekimu. Eh, memang bukan rejekimu lho.

Aku pulang dulu deh, tentu saja tetap naik angkot. Ada resikonya, tapi rasanya terbayar dengan keasyikannya kok.