"Seni berbicara itu penting, karena dengan begitu kita bisa menyampaikan maksud kita tanpa bikin salah paham," kataku waktu itu.
"Tapi menurutku seni mendengar itu jauh lebih penting," bantahmu.
"Coba bayangin berapa banyak keributan yang sudah terjadi antara temen-temen selama ini gara-gara salah bicara. Itu karena mereka tidak menguasai cara berbicara dengan baik, bagaimana supaya tidak menyinggung perasaan orang lain, bagaimana mencari waktu yang tepat," aku membela diri.
"Ya, tapi jangan salah. Telinga kita ada dua, sementara mulut kita cuma satu. Kenapa begitu? Pasti ada maksudnya. Itu berarti kita harus lebih belajar tentang mendengar daripada bicara," kamu berkata.
Sampai di sini, aku kehilangan kata untuk menyanggah.
Akhirnya kita memasukkan materi "Seni Mendengar" di dalam pelatihan yang kita langsungkan untuk teman-teman, bukannya "Seni Berbicara". Dua tahun kemudian, aku mengadakan pelatihan kecil tentang "Latihan Pidato". Dan aku tahu, setahun kemudian, sebuah pelatihan tentang “Public Speaking” dibuat dan disambut antusias oleh teman-teman kita.
Sekarang, aku setuju padamu. Banyak orang yang ternyata masih harus belajar “mendengar”. Semakin tua, kita semakin tidak bisa mendengar. Telinga kita tersumbat oleh ego dan ketidakpedulian kita. Dua lubang telinga ini tinggal rongga tak berguna. Termasuk juga untuk kita. Kadang kesalahpahaman kecil berbuntut keributan besar, gara-gara kita kurang saling “mendengar”. Aku sering bilang, “Yang kita lakukan hanyalah bergantian bicara.” Bila begitu, aku pun merindukan hari-hari berdebat denganmu, karena setidaknya perdebatan itu membuktikan bahwa kita masih saling mendengar, biarpun tak harus selalu saling setuju.
2 komentar:
Telinga kita dua, mulut satu. Jadi sering-seringlah mendengar daripada berbicara. Bahkan ada yg bilang mendengar dengan mata, bicaralah dengan telinga? Nah lho...
Posting Komentar